Oleh: Hendra J. Kede, S.T., S.H., M.H., GRCE
Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat / Ketua Bidang Non-litigasi LKBPH PWI Pusat
MITRAPOLITIKA, Jakarta — Sayid Iskandarsyah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (DK PWI) dan pengurusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas terbitnya SK DK Nomor: 21/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024 tentang Sanksi Organisasi Terhadap Sayid Iskandarsyah tanggal 16 April 2024.
Gugatan terdaftar di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat di bawah nomor register: 395/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst tanggal 8 Juli 2024.
Sayid Iskandarsyah menilai para Tergugat telah melanggar Pasal 1365 jo Pasal 1366 KUHPerdata (Halaman 17 Putusan Sela).
Institusi DK PWI menjadi Tergugat I. Sementara Tergugat II dan III adalah Ketua dan Sekretaris DK PWI yang menandatangani Surat Keputusan a quo yaitu Sasongko Tedjo dan Nurcholis Ma Basyari.
Tergugat IV – X adalah Wakil Ketua, dan enam orang Anggota DK PWI saat SK diterbitkan. Dan Hendry Ch Bangun dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PWI Pusat sebagai Turut Tergugat II.
Penerimaan Noeh Hatumena Sebagai Plt. Ketua DK PWI oleh Majelis Hakim
Majelis Hakim menjatuhkan Putusan Sela yang pada intinya menyatakan PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan hukum/legal standing (kompetensi absolut) untuk memeriksa dan mengadili gugatan PMH a quo.
Mempelajari Putusan Sela dimaksud, pada halaman 1, Majelis Hakim PN Jakpus menerima Noeh Hatumena mewakili kepentingan hukum DK PWI di persidangan selaku Plt. Ketua DK PWI.
“Lawan 1. Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, berkedudukan…., diwakili oleh M. Noeh Hatumena selaku Plt. Ketua Dewan Kehormatan PWI dalam hal ini memberikan kuasa kepada….”
Hal ini sesuai dengan SK PWI Pusat Nomor: 250-PLP/PP-PWI/2024 tentang Pemberhentian Sementara Sasongko Tedjo Sebagai Ketua Dewan Kehormatan dan Pengangkatan Noeh Hatumena Anggota Dewan Kehormatan Sebagai Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia Masa Bakti 2023-2028 tanggal 5 Agustus 2024.
Penerimaan Majelis Hakim ini dilanjutkan dengan memberi kesempatan kepada Penasihat Hukum DK PWI Pusat yang ditunjuk oleh Noeh Hatumena untuk memberikan jawaban atas gugatan Penggugat, dan jawaban tersebut ikut dimuat dalam Putusan Sela.
Tidak ditemukan dalam Putusan Sela tersebut, Tergugat II (Sasongko Tedjo) mempermasalahkan penerimaan Noeh Hatumena oleh Majelis Hakim (Fakta persidangan).
Sebagai catatan, persidangan pertama untuk memeriksa kedudukan hukum/legal standing para pihak dilakukan setelah ditetapkannya Noeh Hatumena sebagai Plt. Ketua DK PWI.
Pertanyaan Kritis
Pertanyaan kritis yang muncul kemudian terkait sedang adanya dinamika kepengurusan di PWI Pusat adalah apakah penerimaan Noeh Hatumena oleh Majelis Hakim PN Jakpus ini memiliki implikasi yuridis walau tidak dinyatakan secara eksplisit oleh Majelis Hakim berdasarkan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel), asas kepastian hukum (Rechtszekerheid), asas tidak menyalahgunakan wewenang (Detournement de Pouvoir), asas akuntabilitas , dan asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law), dan praktik hukum administrasi?
Implikasi Yuridis Noeh Hatumena Diterima Majelis Hakim Sebagai Plt. Ketua DK PWI Pusat
Penerimaan Noeh Hatumena yang berwenang mewakili DK PWI dalam persidangan menimbulkan sejumlah implikasi yuridis yang patut dicermati dan terbaca secara implisit dalam Putusan Sela PN Jakpus a quo.
Pertama. Pengakuan Terhadap Kepengurusan PWI di bawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun dan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad
Sasongko Tedjo telah menyatakan dirinya sebagai Ketua DK PWI dari apa yang dia sebut hasil Konggres Luar Biasa (KLB) PWI Agustus 2024 dengan Zulmansyah sebagai Ketua Umum dan Wina Armada sebagai Sekretaris Jenderal.
Sementara di sisi lain, Hendry Ch Bangun selaku Ketua Umum hasil Konggres Bandung 2023 dengan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad telah menunjuk Noeh Hatumena sebagai Plt. Ketua DK PWI menggantikan Sasongko Tedjo melalui sebuah Surat Keputusan (Asas legalitas).
Padahal yang digugat oleh Sayid Iskandarsyah sebagai Tergugat I adalah institusi DK PWI. Maka pertanyaan logisnya adalah bukankah seharusnya Sasongko Tedjo menolak kehadiran Noeh Hatumena sebagai orang yang mewakili kepentingan hukum institusi DK PWI dalam persidangan?
Beranjak dari fakta-fakta di atas, maka penerimaan PN Jakpus terhadap Noeh Hatumena secara implisit dapat diterjemahkan sebagai pengakuan lembaga peradilan terhadap keabsahan Surat Keputusan yang diterbitkan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad yang menunjuk Noeh Hatumena, sekaligus merupakan pengakuan implisit keabsahan kepengurusan PWI Pusat dibawah kepemimpinan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad.
Kedua. Keberlakuan Perombakan Pengurus oleh Hendry Ch Bangun
Noeh Hatumena ditunjuk sebagai Plt. Ketua DK PWI setelah terbitnya SK AHU Kumham Nomor: AHU.0000946.AH.01.08 Tahun 2024 dan sampai saat pembacaan putusan belum mengalami perubahan.
Maka penerimaan PN Jakpus terhadap Noeh HatumenaI secara implisit dapat dimaknai juga bahwa perombakan kepengurusan PWI Pusat oleh Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad adalah sah dan mengikat dihadapan hukum, dan dapat diberlakukan walaupun belum terbit SK AHU perubahan.
Implikasi yuridisnya adalah segala tindakan administratif yang diambil oleh kepengurusan PWI Pusat dibawah Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad berlaku dan mengikat secara hukum, baik ke dalam maupun ke luar organisasi PWI (asas akuntabilitas).
Ketiga. Tidak Ada Dualisme Kepengurusan PWI
Argumen Dewan Pers dalam surat pengosongan kantor PWI Pusat di Gedung Dewan Pers Lt. IV, Jln. Kebon Sirih 34, Jakarta Pusat yang menyatakan seolah-olah ada dualisme kepengurusan PWI Pusat tertolak dengan diterimanya Noeh Hatumena oleh PN Jakpus ini, padahal Ketua DK PWI a.n. Sasongko juga bagian dari persidangan dan merupakan Tergugat II.
Hal ini sekaligus juga bermakna bahwa PN Jakpus secara implisit mementahkan argumentasi Dewan Pers yang mengakui Sasongko Tedjo selaku Ketua DK PWI Pusat exiting selama proses persidangan berlangsung dan selama SK PWI Pusat yang mengangkat Noeh Hatumena belum dicabut (asas tidak menyalahgunakan wewenang, asas kepastian hukum, dan asas persamaan di depan hukum).
Melalui Putusan Sela ini, PN Jakpus seolah mengajarkan bahwa asas legalitas harus dijunjung tinggi, dihormati, dan dijalankan oleh siapapun.
Dan karena yang berwenang menentukan legalitas kepengurusan PWI adalah Kementerian Hukum, maka lembaga lain, termasuk Dewan Pers, wajib mematuhinya tanpa ada ruang sedikitpun untuk mempertanyakannya, kecuali ditetapkan lain oleh pengadilan jika ada yang mengajukan gugatan hukum.
Kempat. Keabsahan Kepengurusan DK PWI
Penerimaan Noeh Hatumena oleh PN Jakpus sekaligus juga menegaskan bahwa Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota DK PWI yang memiliki kewenangan hukum mengatasnamakan DK PWI dan mengambil tindakan administrasi atas nama DK PWI guna menjalankan segala hak dan kewajiban yang diamanatkan Peraturan Dasar (AD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI adalah kepengurusan DK PWI yang berada dibawah koordinasi Noeh Hatumena.
Kelima. Keabsahan Surat-Surat
Putusan Sela juga secara implisit menyatakan bahwa semua Surat Keputusan dan surat-surat lainnya yang dikeluarkan PWI Pusat yang ditandatangi oleh Ketua Umum Hendry Ch Bangun, Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad, Bendahara Umum Muhammad Nasir, serta pengurus lainnya, termasuk dan tidak terbatas surat-surat yang diterbitkan bagian keuangan Sekretariat PWI Pusat adalah sah dan mengikat secara hukum.
Akibat yuridisnya, kepengurusan PWI Pusat di bawah Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad merupakan kepengurusan PWI yang memiliki hak hukum untuk melakukan perikatan keperdataan dengan pihak manapun untuk dan atas nama institusi PWI Pusat, termasuk dan tidak terbatas dengan pemerintah dan perbankan dengan segala implikasi hukumnya.
Keenam. Ilegalitas Kepengurusan KLB Jakarta 2024
Makna implisit lainnya dengan diterimanya Noeh Hatumena oleh PN Jakpus adalah tidak diakuinya klaim adanya KLB PWI pada pertengahan Agustus 2024 oleh PN Jakpus, delapan bulan sebelum pembacaan Putusan Sela.
PN Jakpus tidak mengakui legalitas dan keabsahan kepengurusan PWI yang mendasarkan legalitas dan kepengurusannya kepada apa yang mereka sebut sebagai hasil KLB PWI.
Hal ini dapat dipahami kenapa PN Jakpus bersikap demikian jika dilihat dari sisi asas legalitas dan praktik hukum administrasi.
Hakim dalam memutus terikat dengan asas legalitas. Dan faktanya, sampai Putusan Sela dibacakan Kementerian Hukum tidak menerbitkan SK AHU yang mengubah posisi Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PWI Pusat dari Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad.
Dan mereka yang mengatasnamakan Pengurus PWI hasil KLB, sampai saat Putusan Sela dibacakan, setelah 8 bulan berlalu, juga tidak mengajukan gugatan hukum terhadap Menteri Hukum atas keberlakuan SK AHU Nomor: AHU.0000946.AH.01.08 Tahun 2024.
Melihat rentang waktu yang demikian panjang, delapan bulan, maka patut diduga sebenarnya pihak yang mengatasnamakan sebagai kepengurusan PWI Pusat hasil KLB yakin akan kalah jika mengajukan gugatan hukum ke PTUN atas SK AHU tersebut.
Ketujuh. Kantor PWI di Lantai 4 Gedung Dewan Pers Dikembalikan dan UKW Seharusnya Diaktifkan
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa penerimaan Noeh Hatumena oleh PN Jakpus sebangun dengan pengakuan secara implisit lembaga peradilan terhadap legalitas kepengurusan PWI Pusat dibawah kepemimpinan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad, sekaligus mematahkan argumen Dewan Pers terkait adanya dualisme kepengurusan PWI Pusat.
Maka konsekuensi hukumnya adalah Dewan Pers sudah seharusnya mengembalikan kantor PWI Pusat yang terletak di lt. 4 Gedung Dewan Pers, Jln. Kebon Sirih nomor 34 Jakarta Pusat, kepada kepengurusan PWI hasil Konggres PWI Bandung 2023 dibawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun dan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad.
Bersamaan dengan itu, mengaktifkan kembali PWI sebagai lembaga uji pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang beberapa waktu terakhir dibekukan Ketua Dewan Pers tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Hal ini sangat merugikan PWI sebagai organisasi profesi wartawan dan lebih-lebih lagi merugikan ribuan wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia.
Penutup
Lembaga peradilan dalam negara yang beradab dan berdasarkan hukum dipandang sebagai lembaga penyelesai akhir atas segala dinamika yang ada di tengah masyarakat.
Maka penghormatan atas putusan pengadilan haruslah dipandang sebagai solusi akhir atas segala dinamika sosial kemasyarakatan dalam masyarakat yang beradab dan berbudaya.
PN Jakarta Pusat sudah sangat jelas dan terang benderang dalam memandang dinamika PWI melalui penerimaan terhadap Noeh Hatumena selaku Plt. Ketua DK PWI untuk mewakili kepentingan hukum DK PWI dalam sidang PMH di PN Jakarta Pusat, dengan segala implikasi yuridisnya.
Tidak ada pilihan lain selain menaati dan mematuhinya dengan sepenuh hati, terlepas dari pandangan subjektif dan kepentingan pribadi, baik pribadi orang maupun pribadi badan hukum, seperti Dewan Pers.
Demikian, semoga bermanfaat, terima kasih.