Nusantara

Sejarah dan Rahasia Batu Lingga Gunung Payung Tasikmalaya

×

Sejarah dan Rahasia Batu Lingga Gunung Payung Tasikmalaya

Sebarkan artikel ini
Sejarah dan Rahasia Batu Lingga Gunung Payung Tasikmalaya
Tim Ekspedisi Wisata Sejarah yang dipimpin oleh Abah H. Anton Charliyan,

MITRAPOLITIKA, Tasikmalaya — Sebuah situs bersejarah yang sarat nilai spiritual dan budaya, kembali menjadi perhatian publik.

Tim Ekspedisi Wisata Sejarah yang dipimpin oleh Abah H. Anton Charliyan, mengunjungi Batu Lingga Gunung Payung, yang terletak di Dusun Awiluar, Desa Sirnajaya, Kecamatan Karangjaya, Cineam, Manonjaya, Tasikmalaya,pada Senin(13/10/2025).

Situs ini berbatasan langsung dengan Desa Nagara Tengah, wilayah yang diyakini pernah menjadi pusat Kerajaan Nagara Tengah pada masa lampau.

Perjalanan menuju lokasi situs dimulai dari Lapangan Kiara Korsi, tempat tumbuhnya dua pohon kiara berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Dari pusat Kota Tasikmalaya, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dengan kendaraan roda empat hingga titik tersebut. Setelah itu, tim melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit melalui jalur terjal dan licin, terutama saat hujan turun.

Di sepanjang jalur pendakian, terdapat sejumlah titik bersejarah. Bukit pertama menjadi lokasi Cai Kahuripan, tempat penyucian diri sebelum menuju puncak. Selanjutnya, pada bukit kedua, terdapat makam Kiayi Jaga Bejo Jaka Supena, dan sedikit lebih ke atas lagi terdapat Batu Pangasahan Si Belang. Setelah melewati tanjakan terakhir, tibalah tim di lokasi utama, yaitu Batu Lingga Yoni Gunung Payung.

Batu lingga tersebut berdiri di atas gundukan tanah di sisi kanan puncak bukit. Batu ini memiliki tinggi sekitar 80 sentimeter dan lebar 20 sentimeter dengan ujung berbentuk setengah lingkaran. Pada bagian bawah terdapat ukiran melengkung di empat sisi, yang menunjukkan bahwa batu ini adalah hasil karya manusia, bukan batu alami.

Sayangnya, batu yoni atau alas batu lingga kini telah hilang. Menurut keterangan warga dan perangkat desa, dulunya batu tersebut ada dan posisinya berada di tengah puncak, bukan di pojok seperti sekarang. Namun, tidak diketahui secara pasti alasan pemindahannya maupun keberadaan batu alas tersebut saat ini.

Pada masa kejayaan Kerajaan Nagara Tengah, situs Batu Lingga Gunung Payung merupakan tempat suci untuk berdoa, bertapa, dan meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Warga meyakini bahwa doa yang dipanjatkan dengan hati bersih dan tulus di tempat ini akan lebih mudah dikabulkan. Keyakinan ini terus hidup di masyarakat sekitar hingga kini.

Selain itu, kawasan Gunung Payung juga diyakini menjadi tempat pertapaan raja, pejabat kerajaan, dan sesepuh Kerajaan Nagara Tengah, Kabataraan Galunggung, dan Galuh Pakuan. Di puncak tertinggi, terdapat dua makam kuno yang diyakini sebagai makam Eyang Rama Gumulung Putih dan Eyang Ratu Gumulung Putih, leluhur dari Kerajaan Galunggung.

Menurut catatan naskah kuno, situs ini awalnya merupakan punden berundak. Namun, akibat letusan gunung berulang kali, bentuk aslinya tertimbun tanah. Para pemerhati sejarah menilai, diperlukan ekskavasi oleh tim ahli untuk mengungkap bentuk aslinya secara lebih mendalam.

Asal usul pasti batu lingga ini masih menjadi misteri. Sebagian sumber menyebut, batu ini dibuat pada masa awal Kerajaan Galuh sekitar abad ke-7. Ada pula yang meyakini dibuat pada masa Kabataraan Galunggung abad ke-9, atau pada masa Kerajaan Nagara Tengah sekitar abad ke-14. Untuk memastikan usia pastinya, para peneliti menyarankan dilakukan uji carbon dating secara ilmiah.

Tim Ekspedisi yang ikut dalam kegiatan ini antara lain Kapolsek Tanjungjaya Iptu Deny H., tokoh masyarakat H. Iyus, Tim Gasantana Hadi Permana dan Ambu Apong, Kades dan Sekdes Sirnajaya H. Asep Sopandi, Kadus Awiluar, Kapuskesmas Tanjungjaya dr. Kustiana, Karang Taruna, dan warga setempat. Total peserta ekspedisi sekitar 20 orang.

Kegiatan ekspedisi ini ditutup dengan botram (makan bersama) di Saung Haji Iyus, Karangjaya. Menu tradisional seperti ikan gurame bakar, pepes, ayam kampung goreng, sambal lalap pedas, asin peda, jengkol, dan pete menjadi pelengkap suasana kebersamaan usai napak tilas sejarah panjang Gunung Payung. (RS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *