MITRAPOLTIKA.com, Kabupaten Bandung – Suasana malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat berubah menjadi momen penuh keresahan bagi warga Kampung Langkop, Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali. Pada Senin 14 / 07 /2025. malam, sekitar pukul 23:19 WIB, warga dikejutkan oleh suara bising dari treler pengangkut alat berat milik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi – Patuha Unit 2, yang melintas di jalur perkampungan menuju kawasan proyek.
Siapa yang Terdampak?
Wida (49), seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan keresahan atas aktivitas proyek tersebut. Ia merasa tidak aman, tidak tentram, dan sangat terganggu, terutama ketika alat berat melintas di tengah malam tanpa pemberitahuan kepada warga.
> “Kami tidak pernah diberi tahu akan ada mobilisasi truk besar malam-malam. Suaranya keras dan sangat mengganggu waktu istirahat. Kami merasa hak kami diabaikan,” ujar Wida.
Apa yang Terjadi?
Mobilisasi alat berat dilakukan tanpa sosialisasi langsung kepada masyarakat terdampak. Proses komunikasi hanya dilakukan melalui perangkat desa dan RW, tanpa keterlibatan warga secara menyeluruh. Yang lebih memprihatinkan, proyek ini juga menggunakan kawasan hutan lindung seluas 2,8 hektare melalui skema IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).
Bagaimana Kewajiban IPPKH Dilanggar?
Dalam aturan IPPKH, setiap pemegang izin wajib mengganti lahan hutan dua kali lipat dari luas yang digunakan. PT Geo Dipa Energi memang telah menyediakan lahan pengganti seluas 6 hektare, namun hanya sebatas menyediakan lahan, bukan mengganti keanekaragaman hayati yang hilang.
Yang jadi persoalan, dalam hutan lindung yang digunakan terdapat sedikitnya 21 spesies tanaman endemik. Artinya, kewajiban perusahaan bukan hanya mengganti luasan, tetapi juga mengganti minimal 21 jenis spesies tanaman yang rusak atau hilang.
Meski proyek PLTP Patuha Unit 2 sudah berjalan lebih dari 3 tahun dan telah memproduksi serta menjual energi panas bumi, kewajiban ekologis ini belum dilaksanakan secara nyata.
> “Seolah-olah PT Geo Dipa sudah menuntaskan kewajiban hanya karena menyediakan lahan 6 hektare. Padahal yang tertulis dalam IPPKH adalah kewajiban mengganti hutan, bukan hanya tanah kosong. Apalagi belum ada langkah konkret untuk mengembalikan jenis tanaman endemik yang hilang,” ungkap salah satu warga pemerhati lingkungan setempat.
Apakah Ini Melanggar HAM dan Lingkungan?
Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya:
Pasal 1 ayat (1): Menegaskan bahwa hak asasi manusia melekat pada hakikat manusia dan wajib dihormati oleh negara dan setiap orang.
Pasal 9 ayat (2): Menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, dan sejahtera lahir batin.
Mobilisasi malam hari yang menimbulkan kebisingan serta dampak ekologis yang belum ditangani dengan baik, berpotensi melanggar prinsip HAM dan kelestarian lingkungan.
Mengapa Ini Penting?
Warga tidak dilibatkan secara langsung dalam sosialisasi proyek.
Kewajiban penggantian spesies tanaman endemik yang hilang belum dilakukan.
IPPKH bukan hanya soal luas lahan, tetapi tanggung jawab ekologis menyeluruh.
Proyek telah berjalan dan menghasilkan keuntungan, namun kompensasi terhadap lingkungan dan masyarakat masih minim.
Apa yang Diharapkan Masyarakat?
Warga meminta:
Evaluasi ulang terhadap pelaksanaan kewajiban IPPKH oleh PT Geo Dipa Energi
Sosialisasi langsung dan terbuka kepada masyarakat terdampak
Penghentian mobilisasi malam hari yang meresahkan
Pengembalian spesies tanaman endemik yang hilang sebagai bagian dari pemulihan ekologis
Kesimpulan
Pembangunan proyek strategis seperti PLTP memang penting bagi kemajuan energi nasional. Namun, itu tidak boleh dijalankan dengan mengorbankan ketentraman warga, hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan. Sudah saatnya pemerintah, pemegang izin, dan aparat penegak hukum mengawasi lebih ketat pelaksanaan proyek besar agar tidak menimbulkan ketidakadilan sosial dan kerusakan ekologis yang tidak terbayar.
Pewarta: Hamdani