Opini

Ketika Jurnalisme Tak Lagi Menarik: Renungan Menurunnya Minat Generasi Muda terhadap Jurusan Jurnalistik

×

Ketika Jurnalisme Tak Lagi Menarik: Renungan Menurunnya Minat Generasi Muda terhadap Jurusan Jurnalistik

Sebarkan artikel ini
Ketika Jurnalisme Tak Lagi Menarik: Renungan Menurunnya Minat Generasi Muda terhadap Jurusan Jurnalistik

Oleh : Dadang Rachmat
Sekjen Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat – Pimred Mitrapol

MITRAPOLITIKA, Jakarta — Setiap tanggal 2 Mei,Bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, Pelopor Pendidikan Indonesia yang mengedepankan kemanusiaan. Namun, dalam era sekarang, pendidikan tidak lagi menjadi sekadar tanggung jawab guru dan sekolah, melainkan menjadi tugas kolektif semua elemen bangsa, termasuk wartawan. Pers dan dunia pendidikan memiliki misi yang sejajar: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai penyampai informasi dan penjaga nalar publik, wartawan memiliki peran yang krusial dalam mendukung pendidikan nasional. Melalui berbagai bentuk pemberitaan, mulai dari berita, opini, laporan investigasi, hingga rubrik edukatif, wartawan berkontribusi dalam membangun kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya pendidikan. Banyak perubahan kebijakan pendidikan yang dihasilkan berkat dorongan opini publik yang dipicu oleh laporan media.

Di tengah derasnya arus informasi yang tak pernah berhenti, profesi wartawan seharusnya menjadi salah satu yang paling relevan di era digital saat ini. Namun, alih-alih meningkat, minat generasi muda untuk menempuh pendidikan di jurusan jurnalistik justru mengalami penurunan yang signifikan. Fenomena ini adalah sebuah ironi yang menyedihkan: di saat kebutuhan akan jurnalisme berkualitas semakin mendesak, calon-calon jurnalis semakin sulit ditemukan.

Data dari berbagai perguruan tinggi mengungkapkan penurunan drastis jumlah pendaftar jurusan jurnalistik dalam lima tahun terakhir. Banyak siswa SMA lebih memilih jurusan yang dianggap lebih menguntungkan secara finansial, seperti teknologi informasi, bisnis digital, atau profesi baru di dunia konten seperti influencer, content creator, dan vlogger. Sayangnya, jurnalisme sekarang dipandang sebagai profesi “usang” yang kalah saing di zaman algoritma.

Padahal, jurnalisme lebih dari sekadar pekerjaan menulis berita. Jurnalisme adalah pilar demokrasi. Dalam ungkapan Walter Lippmann, seorang tokoh pers asal Amerika, “Tanpa kritik dan pelaporan yang dapat dipercaya, masyarakat akan menjadi massa yang tak berdaya.” Ini menunjukkan bahwa hilangnya jurnalis profesional berarti hilangnya mata dan telinga publik yang kritis terhadap kekuasaan dan ketidakadilan.

Lalu, apa yang menyebabkan minat ini memudar?

Pertama, citra profesi wartawan sering kali dianggap kurang menjanjikan, baik dari segi finansial maupun prestise. Banyak generasi muda melihat wartawan sebagai pekerjaan yang berisiko tinggi dengan imbalan yang tak sebanding. Selain itu, industri media juga tengah menghadapi krisis, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), upah yang stagnan, dan semakin menyusutnya ruang redaksi.

Kedua, disrupsi digital telah menggeser peran wartawan menuju tangan algoritma dan konten instan. Generasi muda, yang sudah terbiasa dengan media sosial, lebih tertarik menjadi kreator konten independen dibandingkan jurnalis yang terikat pada etika dan verifikasi. Dunia jurnalistik dianggap “kaku”, terlalu normatif, dan kalah cepat dibandingkan dunia media sosial dalam hal pencapaian dan eksposur.

Ketiga, kurangnya promosi dan pendidikan mengenai jurnalistik sejak dini. Di banyak sekolah, pelajaran menulis, berpikir kritis, dan pemahaman tentang etika media belum menjadi bagian integral dari kurikulum. Anak-anak tidak diperkenalkan pada peran penting jurnalis dalam masyarakat, sehingga jurnalistik tidak tampak sebagai jalan hidup yang mulia dan menarik.

Namun, harapan masih ada. Dunia jurnalistik justru memerlukan wajah-wajah baru: generasi muda yang peka terhadap keadilan sosial, melek digital, dan berani menyuarakan kebenaran. Profesi ini akan selalu relevan, terutama di tengah dunia yang semakin ramai oleh hoaks dan manipulasi informasi.

Kita perlu menggali kembali narasi positif tentang jurnalisme. Bahwa menjadi wartawan adalah sebuah pilihan karier yang membawa makna, bukan sekadar soal gaji, melainkan juga tentang pengabdian kepada publik, kemanusiaan, dan nilai-nilai kebenaran. Seperti yang diungkapkan Christiane Amanpour, jurnalis senior CNN, “Tugas kami adalah memberikan suara kepada yang tak bersuara dan menyampaikan kebenaran di dunia yang penuh propaganda.”

Lembaga pendidikan, organisasi profesi, dan industri media harus bersatu menciptakan ekosistem yang menarik bagi calon jurnalis. Mulai dari program pelatihan jurnalistik digital, beasiswa khusus, hingga promosi melalui media sosial yang lebih ramah dan inspiratif.

Karena jika generasi muda kehilangan minat pada jurnalisme, yang kita hadapi bukan hanya krisis profesi, tetapi juga krisis informasi, krisis keadilan, dan krisis masa depan demokrasi itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagaimana Puasanya?
Opini

Catatan Hendry Ch Bangun MITRAPOLITIKA, Tangerang Selatan–Menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Karena spektrum pertanyaannya sangat…