MITRAPOLITIKA, Jabar —- Sampai saat ini masih ada intelektual muslim yang masih pro-kontra mengenai kesimpulan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin di pemerintahan, khususnya sebagai Kepala Negara dan atau Kepala Daerah seperti Gubernur. Walikota atau Bupati.
Pro-kontra ini secara umum terjadi terkait penafsiran firman Allah dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi, ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”.
Begitu pun dengan akan dilaksanakannya Pemilihan Suara Ulang (PSU) atau Pilkada Ulang di Kabupaten Tasikmalaya pada tanggal 19 April 2025 yang akan datang, dimana kandidat Bupati Tasikmalaya nomor 3 yakni Hj. Ai Diantani yang diusung koalisi Parpol PDIP, PKB,NasDem dan PBB yang berpasangan dengan calon Wakil Bupati Iip Miftahul Faoz.
Pencalonan Bupati perempuan di Pilkada Ulang Kabupaten Tasikmalaya menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama, bahkan lebih banyak yang kontra atau menolak dipimpinnya Kabupaten Tasikmalaya oleh seorang wanita.
KH. Bobon salah seorang ulama dari Pondok Pesantren Suryalaya mengungkapkan bahwa dirinya bukan tidak setuju kalau pemimpin (Kepala Daerah) dijabat oleh perempuan. ”Khusus kepemimpinan di Kabupaten Tasikmalaya atau yang menjabat Bupati Tasikmalaya oleh perempuan, rasanya kurang tepat saja. Karena selama ini, Kabupaten Tasikmalaya dikenal sebagai Kota Santri atau Kabupaten Seribu Pesantren, rasanya kurang sreg kalau bupatinya seorang perempuan,” ujarnya. Selasa (8/4/25).
Dalam sejarah pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Tasikmalaya, lanjut KH.Bobon, belum pernah ada pemimpin perempuan yang benar-benar mendapat dukungan kuat dari mayoritas masyarakat. Dia mencontohkan ketika pencalonan Hj. Dedeh T Widarsih pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu,”Beliau tidak mendapat dukungan sama sekali dari kalangan pesantren dan Ulama,” ujarnya.
Di tempat terpisah, KH. Ujang Hidayatulloh Pimpinan PP Assyukandary Tasikmalaya mengungkapkan bahwa Kabupaten Tasikmalaya satu satunya kabupaten yang harus melaksanakan PSU di Jawa Barat atas amanah MK.
Ini lebih diakibatkan karena syahwat dinasti yang terlalu dominan. ”Padahal kita tahu bahwa Kabupaten Tasikmalaya memiliki visi misi religius Islam dengan harapan agar nilai-nilai Islam tertanam menjadi karakter baik masyarakat maupun pelayanan masyarakat.
Dalam hal ini diharapkan semua tatanan dan pengelolaan serta pelayanan dijiwai dengan semangat religius Islami. Namun pada realitanya, masyarakat disuguhi dagelan dan dibodohi dengan pencalonan yang nota bene sudah 2 (dua) kali menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya.
Pencalonan istrinya (Hj. Ai Diantani) terkesan sangat dipaksakan untuk melanggengkan dinastinya, meski banyak ditolak masyarakat, terutama bupati perempuan yang tidak mendapat restu dari kalangan pesantren, paparnya.
Karena syahwat dinasti yang terlalu dominan, lanjut KH. Ujang Hidayatulloh, yang pada akhirnya dengan berat hati masyarakat harus mengikuti PSU, yang jelas merugikan masyarakat karena memakan anggaran, disisi lain tentu kita ketinggalan jauh dari Pemda lain dalam memberikan pelayan publik, terlebih pendekatan kesejahteraan saya pikir ini suatu pemborosan, dan entas siapa yg bertanggung jawab.
”Namun bagaimanapun kita harus memiliki pemimpin yang syah serta amanah berjiwa religius Islami yang tidak hanya mementingkan pribadi dan golongan, akan tetapi lebih kepada kepentingan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, dan itu ada disosok pasangan calon nomor 2 Cecep-Asep, yang layak memimpin,” tegasnya.
Hal yang sama disampaikan Gus Rohmat pimpinan Majelis Dzikir Batu Mahpar mengatakan,”Saya berpendapat, tidak tepat jika Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh seorang perempuan. Dalam tanda kutip, merujuk pada dalil Surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan arrijalu qowamuna alaa nisa,artinya bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kalangan perempuan,” katanya.
”Apalagi jika merujuk, bahwa Kabupaten Tasikmalaya, yang dikenal sebagai Kota Santri atau Kabupaten Seribu Pesantren, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai religius dalam dinamika politiknya,” pungkasnya.
DR