Catatan Kecil Djunaedi Tjuti Agus
Mendidih, menggelegar, berteriak marah
Jari-jaripun dikepalkan, keras membatu
Siap menghatam, meluluhlantakkan
Tidak boleh ada yang membantah
Meski untuk menuntut, memperjuangkan hak
Sayalah sang raja diraja, katanya pongah
Yang lain harus patuh, menundukkan kepala
MITRAPOLITKA, Jakarta – Itulah sebait puisi dari puisi berjudul “Hati Yang Terbakar” karya sendiri, yang saya bacakan awal Lomba Baca Puisi dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) ke-40/2025, di Wetland Square, Banjarmasin, Kalimanta Selatan, Jumat (7/2/2025). Saya bukan peserta lomba, tapi tampil hanya sebagai selingan setelah lomba dibuka secara resmi oleh Ketua Umum PWI Pusat/Penanggung Jawab HPN 2025, Hendry Ch Bangun.
“Entah apa yang terjadi dengan Djunaedi, tiba-tiba saja dia (waktu itu) mendadak rajin dan lancar menulis puisi,” kata Hendry menyinggung tentang saya, ketika memperkenalkan tiga aggota juri lomba puisi, termasuk saya bersama AR Loebis dan Benny Benke. “Saya adalah lulusan sastra UI, AR Loebis sastra UGM, sedang Benny Benke penyair,” katanya, tanpa menjelaskan saya lulusan dari mana.
Ya, Ketua Umum PWI Pusat itu benar, saya bukan berlatarbelakang pendidikan sastra. Dan dugaan dia juga benar, saya menulis puisi karena ada sebab, saya lagi dirundung kekecewaan, sakit hati, bahkan sedikit stres terkait perkerjaan saya sebagai seorang wartawan pada awal Maret 2006. Sebagai pelarian, selain makin rajin menulis cerita pendek, saya juga belajar menulis puisi. Padahal puisi sebelumnya tidak saya sukai. Apalagi mendengar orang membaca puisi yang berteriak-teriak, seperti marah. Saya banyak belajar dari karya Hendry Ch Bangun dan sahabat saya AR Loebis.
Maaf, saya jadi terlalu asyik membicarakan diri sendiri. Lomba puisi HPN 2025 dengan 23 peserta berjalan lancar, peserta dan para juaranya sama-sama senang, enjoy. Acara ini hanya sebagian kecil dari kegiatan HPN. Banyak kegiatan lainnya, seperti olahraga massal, kegiatan sosial, seminar, diskusi di berbagai lokasi, serta acara pucak HPN yang digelar di Halaman Kantor Gubernur Kalsel, di Banjarbaru. Acara puncak berjalan meriah, di bawah tenda khusus memanjang, ber-AC, dipadati anggota PWI, IKWI dari seluruh negeri, serta para undagan dan tamu-tamu. Hadir dan menyampaikan sambutan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Itu bukan pertamakalinya Presiden RI tidak hadir pada acara pucak HPN. Hal serupa pernah terjadi, seperti ketika Jokowi baru saja menjadi Presiden pada tahun 2015, saat PWI Pusat dikomandoi Margiono. Bahkan ada pula Presiden yang menunjuk wakil presiden mewakilinya. Yang pasti pelaksanaan perayaan puncak HPN sejak Presiden Soeharto berkuasa, selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. HPN, yang digelar pertamakalinya tahun 1985, di Jakarta, merupakan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.
Meski PWI Pusat di bahwa komando Hendry Ch Bangun akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja, karena adaya sempalan–yang mereka sebut sebagai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 18 Agustus 2024, di Jakarta–persiapan dan pelaksanaan HPN 2025 di Kalsel belangsung sukses. Semua berjalan sesuai recana, termasuk pelaksanaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 yang berhadiah ratusan juta rupiah. Semua angota panitia bekerja sesuai tanggungjawab masing-masing.
Saya yang tergabung pada tim penerbitan buku dan lomba puisi, menjalankan tanggung jawab sebagai mana mestinya. Sebagai salah seorang editor, dari dua editor, untuk buku setebal 176 halaman berjudul Bumi Lambung Mangkurat Bentangan Zamrud; Lumbung Pangan, Pertanian, dan Wisata, saya bahkan masih sempat menyumbangkan lima tulisan. Sebetulnya kami siap menerbitkan sejumlah buku lainnya yang telah terdaftar, seperti pada HPN-HPN sebelumnya. Sayang waktu terlalu mepet.
Yel Yel HCB
Ada hal baru di HPN Kalimantan Selatan, yang di gelar di dua kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Jika biasanya, dalam hal tertentu, sekelompok angota PWI, dari pusat maupun daerah, sepakat untuk meneriakkan yel yel PWI; “PWI. yes, yes, yes” dengan berteriak serentak, pada HPN ke-40 di Kalsel muncul yel yel baru; “HCB. Yes, yes, yes.” Kompak dan bersemangat. Saya menterjemahkan yel yel HCB tersebut sebagai dukungan terhadap Ketua Umum PWI Pusat yang syah, Hendry Ch Bangun. Hendry memang perlu disemangati, didukung, agar organisasi wartawan tertua di Nusantara ini tetap berjalan denga baik. Jadi ada dua yel yel yang menggema selama pelaksanaan HPN Kalsel yang diteriakkan silih berganti. Suatu hal wajar. HCB. Yes, yes, yes, bergema di beberapa tempat, termasuk usai acara puncak.
Saya mengenal Hendry Ch Bangun sejak tahun 1980. Kami berjumpa pertama kalinya di tempat wisata Taman Nasional Bali yang terkenal dengan Pulau Mejangan. Kami berada di sana utuk meliput Jambore Selam Indonesia. Saya dari Harian Suara Karya Jakarta dan Hendry dari Majalah Sportif. Jambore selam nasional telah mempertemukan kami mejadi dua sahabat, karena sejak itu kami kerap berjalan bersama dalam meliput berbagai kegiatan olahraga, terlebih setelah HCB, demikian dia kerap kami sebut sesuai dengan kode beritanya setelah berada di Kompas.
Bekerja di Harian Kompas, jelas suatu kebanggan dan kehormatan, sebuah koran berpengaruh terbesar dan terkenal. Namun predikat itu tak membuat Hendry lupa diri, sombong. Nyatanya kami tetap bersahabat. Dia banyak memberi kesempatan pada saya. Dia yang mendorong saya menjadi seorang penguji (asesor) uji kompetensi wartawan (UKW), dia pula yang megajak saya masuk dalam pengurusan PWI Pusat, termasuk menjadi Wakil Sekjen PWI (penggantian antarwaktu). HCB pula yang mengajak saya masuk ke Dewan Pers sebagai salah seorang anggota kelompok kerja (Pokja).
Hendry memiliki segalanya. Namun dalam berteman, putra dari salah seorang tokoh politik ternama ini, tak pernah pilih-pilih. Dia siap membantu, diminta atau tidak. Namun jangan coba memaksakan kehendak, mengaturnya harus begini dan begitu. HCB memiliki prinsip. Dia berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang diyakini. Jangan coba-coba memaksakan, jawabannya adalah tidak. Dan sikapnya itu ternyata dinilai sejumlah orang tidak fleksibel, apalagi sebagai seorang pemimpin.
Salah seorang wartawan senior, dalam percakapan dengan saya, menilai HCB sebagai seorang Ketua Umum PWI Pusat tidak luwes, tidak mudah beradaptasi, atau tidak lentur. Sikapnya itulah, kata wartawan senior itu, membuat Hendry akhirnya dituding terlibat kasus cashback. HCB, dikatakan senior itu, merupakan korban dari “orang dalam” PWI sendiri, yang menebar tudingan melalui berbagai cara, termasuk leat “pernyataan rilis gelap.”
“Harusnya Hendry meniru sikap salah seorang Ketum yang pernah ada. Dia luwes, jika disentil oleh tokoh tertentu dia langsung datangi tokoh itu ke rumahnya. Persoalan selesai. Itu yang tak mau dilakukan Hendry,” ujar wartawan senior itu yang tidak tergabung dalam PWI Pusat yang dipimpin HCB.
Senior tersebut bahkan mengaku bertamu langsung ke rumah kediaman Hendry, setelah tudinggan cashback mencuat. Pengakuan serupa juga dikatakan salah seorang senior lainnya. Keduanya tidak menemukan “sinyal” apa-apa bahwa HCB terlibat kasus cashback.
Saya termasuk yang tidak yakin HCB tersangkut langsung kasus cashback. Saya sangat hapal sikap Hendry terkait uang. Ketika masih di lapangan, saat banyak wartawan mengharapkan “amplop”, dia malah menghindar. Bahkan ketika dia diundang induk organisasi untuk meliput kegiatan di luar kota, dia bahkan tidak mengambil uang saku, dan tidak memanfaatkan hotel yang disediakan pengundang. Dia memanfaatkan biaya kantor.
Ketika dia baru saja terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat, saya mendengar ada tawaran dari seorang pengurus bahwa Hendry Ch Bangun bersama Sekjen PWI Pusat akan diberi uang operasional bulanan. Dia menolak. Begitu pula ketika ada wacana menyediakan sebuah mobil lengkap dengan sopir untuk keperluan harian. HCB Juga menolak, meski ada beberapa pengurus berusaha menyakinkan bahwa sebelumnya ada Ketua dan Sekjen yang menerima fasilitas uang (gaji) bulanan.
Terkait cashback, saya mendengar sudah ada aturannya di PWI Pusat. Hal itu kabarya sudah berlangsung sejak lama. Lah, jika benar cashback terjadi di era sekarang, kenapa hal itu dipersoalkan? Hal itu harus dibuat terang benderang. Itulah jalan pikiran saya yang perlu mendapat pencerahaan.
Jabatan Satu-Satunya di Dunia
Kenapa mendadak saya suka menulis dan membaca puisi? Pertanyaan Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bagun dalam sambutannya itu terjadi karena saya mengalami “musibah”. Sebagai seorang wartawan. Apa yang saya alami sangat menyakitkan. “Kiamat”, itulah yang saya hadapi sebagai seorang wartawan, karena dilarang menulis berita, membuat tulisan opini, juga tak boleh membuat tajuk rencana (editorial). Padahal hari-hari sebelumnya hal itu akrab dengan saya.
Itu terjadi mulai 1 Maret 2006, ketika Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya yang baru mengeluarkan SK, memberhentikan saya sebagai Redaktur Pelaksana dan metapkan sebagai Redaktur Pelaksanan Non News. Jabatan baru itu tidak pernah ada di media manapun, bahkan di dunia, karena yang namanya Redaktur Pelaksana selalu berubungan dengan news. Sementara tiga wakil redakur pelaksana semuanya diberi jabatan Redaktur Pelaksana yang dibagi menjadi bidang news, korlip, dan lainnya.
Sebagai Redaktur Pelaksana Non News saya dilarang menulis berita, opini, tajuk, dan sejenisnya. Namun aturan itu tidak tertulis dalam SK, juga tak ada penjelasan dari Pimpred. Anehya yang memberi tahu saya adalah para redaktur bidang, yang meyatakan mereka diinstruksikan untuk tidak diperkenankan menerima karya jurnalistik saya. Tugas saya adalah membantu bidang usaha, terutama manejer iklan melakukan pendekatan kepada pengambil kebijakan di berbagai perusahaan, baik BUMN maupun perusahaan swasta.
Bagi saya pekerjaan itu bukan persoalan. Yang saya heran kenapa saya tetap ditempatkan sebagai Redaktur Pelaksana, bukannya dipindahkan saja ke bidang usaha. Pejelasan tentang itu akhirnya saya dapatkan dari Pemimpin Umum. “Anda ditempatkan di Redpel Non News, tapi lebih banyak membantu bidang usaha. Nggak usah jadi pikiran, toh gaji anda tak berkurang,” tuturnya.
Namun akhirnya saya tahu kenapa jabatan Redaktur Pelaksana saya dicopot? Itu karena ada 5
bawahan saya—wakil redpel, redaktur bidang, dan wakil redaktur bidang—menghadap Pimpinan Redaksi yang baru, melaporkan bahwa saya melakukan korupsi bersama salah satu dari bidang usaha. Apa yang saya korupsi? Sampai sekarang saya sendiri nggak mengerti.
“Maaf Bang, saya dipaksa ikut mendongkel Abang. Abang tadinya diusulkan turun jabatan menjadi redaktur olahraga, atau kepala sekretariat redaksi. Namun pimpinan umum menolak. Jadilah Abang mejadi Redaktur Pelaksana Non News,” kata salah seorang rekan redaktur.
Ya, akhirya saya bisa menimati tugas baru. Hampir tiap hari pakai jas, paling tidak pakai dasi, ketemu para direktur perusahaan. Makan enak di hotel-hotel atau restoran. Jika ada waktu senggang saya menulis cerita pendek (cerpen), kemudian belajar menulis dan membaca puisi. Lumayan, tulisan cerpen dan puisi saya selain dikirim ke media lain, juga bisa ditampilkan di Suara Karya dan diberi honor lagi. Lebih kurang 150 puisi saya telah dibukukan di kumpulan puisi HPN, di samping yang dimuat di sejumlah media. Cerpen pun lancar.
Sayangnya, ketika saya sudah bisa menikmati enaknya menjalani tugas baru, tujuh bulan kemudian diperintahkan kembali ke jabatan Redakatur Pelaksana tanpa embel-embel. Saya sempat meyatakan keberatan, namun tidak bisa mengelak, karena Piminan Umum menyatakan bahwa itu adalah perintah. Utungnya tak ada larangan menulis cerpen dan puisi. Alhamdulillah, kegiatan itu masih berjalan hingga sekarang.